TABACA.ID – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyesalkan pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, yang menyatakan pendidikan tinggi termasuk tertiary education, tidak masuk program wajib belajar. Hetifah menilai sudah menjadi tugas pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan warga negara.
“Sangat disesalkan. Saya kira tidak semestinya pemerintah menyampaikan pernyataan seperti itu. Secara normatif memang wajib belajar hanya sampai tingkat sekolah menengah. Namun ini batas minimal pemenuhan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negara,” kata Hetifah kepada wartawan, Sabtu (18/5/2024).
Hetifah mengungkap masyarakat mempunyai keinginan tinggi terhadap pendidikan. Karena itulah, kata Hetifah, pemerintah seharusnya responsif untuk memfasilitasi dalam bentuk kebijakan.
“Karena hasrat masyarakat untuk memajukan diri melalui pendidikan tinggi semakin meningkat, seharusnya pemerintah responsif untuk memfasilitasinya dalam bentuk kebijakan yang sesuai,” ujarnya.
Hetifah menilai pemerintah saat ini hanya terfokus pada beberapa sektor. Padahal seharusnya, kata Hetifah, pemerintah juga fokus membagi anggaran untuk biaya pendidikan tinggi.
“Saat ini anggaran negara terlalu terfokus pada sektor kesehatan, infrastruktur, penanggulangan stunting, serta pendidikan dasar dan menengah. Sementara biaya pendidikan tinggi (kuliah) cenderung terabaikan,” ujarnya.
Politisi Golkar ini menyebut anggaran pendidikan tinggi baru 1% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBN). Untuk itu, Hetifah mengatakan Komisi X DPR RI telah membentuk panja yang akan membahas permasalahan alokasi anggaran pendidikan.
“Dalam kenyataannya anggaran pendidikan tinggi baru 1% dari total APBN. Untuk itu, Komisi X DPR RI telah membentuk Panja Pembiayaan Pendidikan untuk membahas pokok permasalahan alokasi anggaran pendidikan, khususnya yang dialokasikan ke Kemendikbudristek,” katanya.
“Karena saat ini belum dapat menjawab permasalahan pendidikan terutamanya mengenai ketersediaan, keterjangkauan, dan kepastian memperoleh layanan pendidikan,” imbuhnya.
Tjitjik selaku Sesdirjen Dikti mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier dalam rangka menanggapi polemik tingginya UKT. Sebagaimana siaran audio yang ditampilkan 20 detik, Kamis (16/4/2024) kemarin, sifat pendidikan tinggi adalah opsional. Alokasi fokus anggaran pemerintah lebih kepada pendidikan wajib belajar, bukan ke pendidikan tersier itu.
“Pendidikan tinggi adalah tertiary education, jadi bukan wajib belajar. Artinya, tidak seluruhnya lulusan SLTA/SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Itu sifatnya adalah pilihan,” kata Tjitjik.
Konsekuensinya, pendanaan pemerintah untuk pendidikan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Kebijakan itu juga merupakan amanat undang-undang. Meski begitu, negara tetap memberi Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).
Idealnya, nominal BOPTN sama dengan biaya kuliah tunggal (UKT). Dengan demikian, pendidikan tinggi menjadi gratis. Namun negara belum punya duit sebesar itu.
“Tetapi permasalahannya dana pendidikan kita tidak mencukupi karena prioritas utama adalah untuk pendidikan wajib. Selama ini bantuan BOPTN untuk perguruan tinggi belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidikan. Mau tidak mau, diperlukan peran serta masyarakat,” kata Tjitjik. (detikcom)