TABACA.ID – Suara untuk Kebudayaan Aceh Terarah (SUKAT) menyatakan dukungan terhadap rencana Pemerintah Aceh meleburkan fungsi kelembagaan yang selama ini terpusat di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh.
Gagasan pembentukan Badan atau Dinas Ekonomi Kreatif dinilai sebagai peluang penting untuk menata ulang arah kebijakan kebudayaan, pariwisata, dan ekonomi kreatif di Aceh agar lebih sehat dan terfokus.
SUKAT mengapresiasi langkah cepat Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang langsung memerintahkan pembentukan Dinas Ekonomi Kreatif usai bertemu dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Terlebih, Aceh telah ditetapkan sebagai satu dari 15 provinsi prioritas pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia.
“Sudah saatnya Aceh tidak lagi menumpuk tiga urusan besar dalam satu dinas. Kebudayaan, pariwisata, dan ekonomi kreatif harus dikelola secara fokus dan berkesinambungan,” tegas Iskandar Tungang, Koordinator SUKAT, Sabtu (12/4/2025).
Mengacu pada struktur kementerian di tingkat nasional, SUKAT mendorong pembentukan tiga dinas terpisah, yaitu Dinas Kebudayaan dengan fokus pada pelestarian, pengembangan, dan pembinaan warisan budaya, baik benda maupun tak benda.
Kedua, Dinas Pariwisata yang bertugas mengembangkan destinasi secara berkelanjutan tanpa mengorbankan nilai-nilai lokal, dan yang ketiga adalah Dinas Ekonomi Kreatif yang difokuskan pada penguatan ekosistem produksi kreatif dari akar komunitas, bukan pada event-event seremonial dan proyek jangka pendek.
SUKAT menilai bahwa selama ini kebijakan kebudayaan di Aceh kerap eksklusif, berbasis pada pencapaian kasar, yaitu angka semata, serta kurang melibatkan pelaku budaya secara bermakna. Di sisi lain, pariwisata acap kali tampil sebagai sektor dominan yang justru mengancam substansi budaya lokal.
“Pariwisata tidak boleh menjadi predator atas budaya, dan ekonomi kreatif harus bertumbuh dari komunitas, bukan dari panggung proyek,” tambah Iskandar Tungang.
SUKAT menegaskan bahwa pemisahan struktur kelembagaan ini harus diiringi dengan perubahan paradigma dalam pengambilan kebijakan. Jika tidak, pembentukan dinas-dinas baru hanya akan menjadi agenda administratif tanpa dampak nyata bagi pelaku budaya.
Sebagai forum yang terdiri dari pelaku, peneliti, dan penggerak kebudayaan Aceh, SUKAT berkomitmen untuk mengawal dan mengkritisi setiap kebijakan budaya yang tidak partisipatif dan tidak berpihak kepada masyarakat kebudayaan.
“Pemajuan budaya harus menjadi fondasi pembangunan Aceh yang bermartabat, bukan sekadar pelengkap narasi wisata atau proyek seremonial,” ujarnya. []